AMP KK Jember aksi di depan kantor DPRD provinsi Jawa timur, Kamis, 1/12/2022 |
Jayapura, CekFakta - Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jember merayakan HUT Embrio Kemerdekaan Papua ke-61 di depan Kantor DPRD Jember Provinsi Jawa Timur, Kamis, 1/12/2022.
“Tolak Program Kolonial Lewat Otsus, Pemekaran DOB dan lakukan Dekolonisasi serta Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua sebagai solusi Demokratik” Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua.
Sejak 1 Desember 1961 hingga hari ini
merupakan momentum besar atau hari bersejarah bagi rakyat West Papua terjadi.
West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya. Kala itu, pertama
kali bendera Bintang Kejora berkibar di
Kota Hollandia, kini Jayapura. Peristiwa
tersebut bukanlah aksi spontan, tapi telah
dilandasi dengan kesadaran kebangsaan. Ketika West Papua masih menjadi wilayah
sengketa antara Indonesia dan Belanda,
tuntutan kemerdekaan rakyat West Papua
sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan West Papua yang terdidik lewat
sekolah polisi dan sekolah pamong praja
(bestuurschool) di Hollandia, yang mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk
mempersiapkan kemerdekaan West Papua.
Atas desakan para politisi dan negarawan
West Papua yang terdidik, maka Pemerintah
Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad
(Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam dewan ini
adalah MW Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan
Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P Torey
(Ransiki/Manokwari), AK Gebze (Merauke),
MB Ramandey (Waropen), AS Onim
(Teminabuan), N Tanggahma (Fakfak), F
Poana (Mimika), dan Abdullah Arfan (Raja
Ampat). Kemudian wakil-wakil dari
keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke
(mewakili Hollandia) dan HFW Gosewisch
(mewakili Manokwari).
Setelah melakukan berbagai persiapan,
disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya: bangsa Papua.
Perang Dingin yang secara langsung turut
memperkeruh nasib bangsa West Papua.
Amerika Serikat yang memiliki kepentingan
tak kalah besar terhadap Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat
menekan Belanda untuk berunding dengan
Indonesia. Perundingan kemudian
berlangsung di New York pada 15 Agustus
1962 (New York Agreement) yang mana
Amerika bertindak sebagai mediator.
Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan hidup dan nasib rakyat West Papua.
New York Agreement terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 hal. Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang didasarkan pada praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one person one vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara Persatuan Bangsa-Bangsa (UNTEA) kepada Indonesia.
Berpuluh tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo. Kematian Theys
segera ditindaklanjuti pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan
Undang-Undang Otonomi Khusus (UU
Otsus).
UU Otsus menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, mengobati luka lama akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal.
Namun nyatanya janji tersebut langsung
terbantah dengan adanya pembunuhan Theys Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia.
Benar saja, selama 20 tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan
pengawasan pemerintah pusat demi
menyingkirkan kandidat-kandidat yang
pro-kemerdekaan. Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Kendati UU tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang "termarjinalkan” melalui proyek-proyek pembangunan, faktanya dana proyek-proyek itu lebih sering diselewengkan. Anggaran untuk infrastruktur dan dana alokasi umum
(DAU) jumlahnya dua persen dari APBN,
sementara saat yang sama aparat
keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua
yang melimpah dengan dalih operasi
kontra pemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.
Oleh sebab itu pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 kelompok. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus berhasil menyejahterakan dan
mengikutsertakan orang asli West Papua
dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti “mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus.” Mereka dan kelompok-kelompok lain keberatan atas disingkirkannya rakyat West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU
Otsus, misalnya, harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah mengklaim bahwa lembaga-lembaga itu sudah representatif, tapi sebagian kalangan berpendapat bahwa kelompok-kelompok pro-kemerdekaan tidak dilibatkan Indonesia diatas tanah west Papua.
Presiden Jokowi mengizinkan militer
memperluas struktur teritorialnya dengan
membangun dua komando daerah militer
(kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di Provinsi Papua barat.
Tampaknya militer tengah berusaha
menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya. Jokowi juga mengizinkan militer melanjutkan.
Serangkaian penjelasan di atas dapat
menyimpulkan bahwa akar permasalahan
yang terjadi di West Papua adalah cacatnya
sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian
membuahkan praktek militerisasi yang
berimbas pada maraknya pelanggaran HAM
(pembunuhan di luar hukum, penangkapan,
penyiksaan, pembungkaman kebebasan
berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu.
Maka, dalam rangka peringatan 61 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK
Jember menyatakan sikap politik sebagai
berikut:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib
Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi
Bangsa West Papua.
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di
West Papua.
4. Tarik militer organik dan non-organik
dari West Papua.
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi
dan intimidasi terhadap mahasiswa
West Papua di Indonesia.
6. Bebaskan tahanan politik West Papua
tanpa syarat.
7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh
serta tolak pengembangan Blok Wabu
dan eksploitasi PT Antam di
Pegunungan Bintang.
8. Usut tuntas pelaku penembakan dua
anak di Intan Jaya.
9. Tangkap, adili, dan penjarakan
jenderal-jenderal pelanggar HAM
10. Hentikan rasisme dan politik rasial
yang dilakukan Pemerintah Republik
Indonesia dan TNI-Polri.
11. Hentikan operasi militer di Nduga,
Intan Jaya, Puncak Jaya,
Pegunungan Bintang, Maybrat, dan
Seluruh Wilayah West Papua lainnya.
12. Cabut Omnibus Law
13. Cabut 4 Provinsi: Papua Barat Daya,
Papua Tengah, Pegunungan Papua
Tengah, Papua Selatan.
14. Indonesia Stop Etnosida, Ekosida Dan
Genosida Di West Papua.
15. Belanda harus bertanggung jawab
untuk menuntaskan proses
dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan.
16. PBB harus bertanggung jawab serta
terlibat aktif secara adil dan
demokratis dalam proses menentukan
nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan
penyelesaian pelanggaran HAM yang
terjadi terhadap bangsa West Papua.
17. Mendesak Pemerintah RI untuk
memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk
meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.
18. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan
berpendapat bagi bangsa West Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalammenentukan nasib sendiri. Juga penting kamisampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di yang ada di Tanah West Papua.
Medan Juang, 1 Desember 2022
Juru bicara AMP KK Jember
Tags
Politik