Saat keluarga korban membacakan pernyataan sikap mereka pada Sabtu, 12/11/2022
Jayapura, Cekfakta - Pihak keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Wamena, Kabupaten Jayawijaya yang terjadi pada 4 April 2003 lalu, menolak tawaran penyelesaian melalui jalur Non-yudisial versi Indonesia.
Kita tahu bahwa, Pelanggaran HAM di West Papua terjadi sebagai akibat dari akumulasi kekerasan NKRI terhadap Rakyat Bangsa Papua yang menuntut Hak Politik Kemerdekaan.
Hal ini dikatakan Linus Hiluka, salah satu keluarga korban Wamena berdarah 04 April 2003 kepada Cekfakta, saat diwawancarai melalui handphone seluler, Sabtu (12/11/2022).
Bagaimana tidak, lanjut Linus mengatakan, selama 61 tahun, NKRI tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan status politik bangsa Papua. Malahan memaksakan paket politik Otsus dan pemekaran sebagai win-win solution," kata Linus menambahkannya.
Linus mengatakan hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum mengizinkan Dewan HAM PBB ke Papua. Padahal menurutnya, persoalan Papua sudah menjadi isu internasional.
"Pelanggaran HAM NKRI di West Papua telah menjadi sorotan MSG, PIF, ACP dan dunia Internasional mendesak Dewan HAM PBB berkunjung ke West Papua Indonesia tetapi Indonesia masih belum memberikan izin untuk kunjungan Dewan HAM PBB melalui KT. HAM PBB ke West Papua," ungkap linus.
Ia juga mengatakan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sedang didorong pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam adalah strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia untuk menunjukkan kepada Forum KTT G-20 di Denpansar Bali pada 15-16 November 2022 mendatang bahwa Konflik di West Papua sudah ditangani melalui DIALOG DAMAI.
"Saat ini Pemerintah Indonesia sudah Membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui Menkoplhukam dan sedang mendorong Penyelesaian pelanggaran HAM adalah sebuah kebohongan. Tidak Mungkin Pelaku Mengadili Pelaku."
Linus menambahkan ini adalah strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia. Sebab, menurutnya, pemerintah Indonesia akan menunjukan kepada Forum KTT G-20 di Denpansar, Bali pada 15-16 November 2022 bahwa Konflik di West Papua sudah diselesaikan dan ditangani melalui DIALOG DAMAI.
Desakan dan dukungan pihak Internasional untuk Dewan HAM PBB melalui KT. HAM PBB berkunjung ke West Papua adalah kesempatan yang baik bagi rakyat bangsa Papua menyatakan sikap.
Adapun, dalam pernyataan perwakilan keluarga korban, ada sejumlah poin yang disampaikan.
1. Keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003 menegaskan, mereka menolak tidak menerima segala bentuk tawaran dari pemerintah Indonesia, termasuk penyelesaian judisial dan non-judisial.
Langkah ini semata-mata untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Kami keluarga korban dan korban minta perundingan dalam perspektif hak asasi manusia yang difasilitasi oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Pihak keluarga korban dan korban mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengijinkan Komisi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan wartawan media asing untuk melakukan pemantauan kasus pelanggaran HAM berat Wamena dan kasus pelanggaran HAM lainya di tanah Papua.
3. Keluarga korban dan korban yang merupakan sebagai warga negara, menyesalkan dengan sikap Pemerintah Indonesia, yang tidak pernah terbuka dan transparan menyampaikan perkembangan proses hukum kasus yang dimaksud.
Sedangkan Pemerintah Indonesia menyampaikan kepada masyarakat internasional, telah menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti di Wamena, Wasior, dan Paniai, sementara keluarga korban dan korban belum pernah mengetahui proses penyelesaiannya.
4. Keluarga korban dan korban menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia, yang selalu membangun isu yang tidak benar terhadap masyarakat internasional, termasuk PBB seolah-olah kasus pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003 sedang ditangani.
Sedangkan kami sebagai keluarga korban dan korban belum pernah mendapatkan informasi terkait proses penyelesaian kasus tersebut. (Badii Jheff)