Ilustrasi. (Reuters/Ammar Awad) |
Di tengah gempuran Israel, Palestina berseru meminta bantuan. Di hadapan anggota Organisasi Kerja Sama Islam, Palestina mempertanyakan komitmen negara-negara Arab, terutama yang baru saja menormalisasi hubungan dengan Israel.
"Normalisasi dan masuk ke dalam sistem kolonial Israel sebelum mencapai perdamaian dan penghentian okupasi Israel atas tanah Arab dan Palestina berarti mendukung rezim apartheid dan berpartisipasi dalam kejahatan mereka," ujar Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki.
Ia kemudian berkata, "Okupasi kolonial ini harus dilawan, dihancurkan, diakhiri, dan dilarang. Percepatan normalisasi belakangan ini tak akan berdampak pada sentimen terhadap dunia Arab."
Baca Juga:
Pengamat hubungan internasional dari The Habibie Center, Ibrahim Almuttaqi, menilai normalisasi ini memang hanya menguntungkan Israel.
"Perjanjian ini akan lebih menguntungkan Israel daripada negara-negara Arab. Israel telah memenangkan status tertinggi (atas) pengakuan internasional oleh (negara) tetangga Arab-nya," kata Ibrahim seperti yang dilansir di cnn
Sejumlah pengamat pun menganggap pernyataan Maliki tersebut sebagai cerminan rasa frustrasi Palestina yang seolah "ditinggal" negara-negara Arab kala Jalur Gaza terus dibombardir oleh Israel hingga lebih dari 200 nyawa melayang.
Mesir dan Yordania sebagai negara Arab yang sudah sejak lama menormalisasi hubungan dengan Israel, memang menyatakan bahwa mereka akan membantu proses negosiasi, tapi belum ada bentuk konkretnya hingga kini.
Baca Juga:
Sementara itu, sejumlah negara Arab lainnya "irit" bicara, terutama mereka yang baru saja menormalisasi hubungan dengan Israel, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain,
Seorang ahli politik dari UEA, Abdulkhaleq Abdulla, mengatakan bahwa Israel memang membuat negara-negara yang baru saja menormalisasi hubungan terjerumus dalam posisi canggung.
"Israel sekarang ini membuat teman dan rekan-rekannya, termasuk UAE, di posisi sulit; posisi canggung. Saya rasa posisi ini akan membuat kami kembali ke titik nol," ujar Abdulla kepada The Wall Street Journal.
Posisi canggung ini mengimpit keempat negara tersebut dalam perpecahan di dalam negerinya sendiri. Di Bahrain, warga menggelar aksi simpati untuk Palestina.
Baca Juga:
Sementara itu di Uni Emirat Arab, masyarakat terbelah dua. Sebagian warga masih menyuarakan dukungan terhadap Palestina, tapi ada pula yang membela pemerintahnya untuk mendukung Israel karena menganggap Hamas sebagai penghancur.
"Hamas meluncurkan roket dari kawasan warga sipil dan ketika balasan datang, Hamas bertanya, 'Di mana negara Arab dan Muslim?' Kalian yang membuat Gaza menjadi kuburan massal bagi warga tak bersalah dan anak-anak," ujar seorang tokoh Muslim di UEA, Waseem Yousef, melalui Twitter.
Baca Juga:
Direktur Council for Arab-British Understanding (CAABU), Chris Doyle, menganggap bahwa UEA sebenarnya bisa saja membuat pernyataan membela Palestina tanpa terdengar mendukung Hamas, tapi mereka tak melakukannya.
"Ini memberikan sinyal bahwa pemimpin UEA tak akan mengubah aliansinya dengan Israel, yang dianggap akan berharga bagi rencana mereka ke depan; termasuk melawan Iran, Turki, dan Muslim Brotherhood," tutur Doyle kepada The Guardian.
Belum lagi, UEA dan sejumlah negara Arab lainnya kini sedang menjajaki kerja sama investasi dengan Israel yang mencakup sektor pariwisata, energi, hingga teknologi.
Baca Juga:
Melihat sikap pemerintah ini, tanda pagar #PalestineIsNotMyCause semakin menggema di jagat maya sejumlah negara-negara Teluk.
Tagar ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir April lalu. Saat itu, sejumlah analis politik Palestina menduga Arab Saudi menjadi dalang di balik penyebaran tagar tersebut.
"Tak diragukan lagi, beberapa orang dari Arab Saudi ada di balik kampanye ini. Jelas mereka menerima bantuan dari aktivis Israel," ujar seorang analis politik Palestina di Ramallah kepada The Jerusalem Post.
Belakangan, Saudi juga dilaporkan bakal mengikuti jejak UEA untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Dugaan ini kian kuat setelah Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, secara diam-diam bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, akhir tahun lalu
Baca Juga:
Meski demikian, sejumlah pengamat menganggap Saudi masih menjaga jarak aman dengan Israel, terutama karena warganya yang konservatif.
"Arab Saudi tetap merupakan (negara dengan) masyarakat yang sangat konservatif dan legitimasi pemerintah terletak pada statusnya sebagai pembela Islam, termasuk perjuangan Palestina," ujar Ibrahim.
Ibrahim kemudian berkata, "Jika Arab Saudi meninggalkan Palestina, kita mungkin melihat Iran menjadi lebih berpengaruh dalam masalah ini, dan ini adalah sesuatu yang ingin dihindari oleh Arab Saudi."
Baca Juga:
Dalam pertemuan OKI pada Minggu (16/5) pun Saudi mengecam sikap Israel, meski tak menyebut langsung serangan udara di Jalur Gaza.
Peneliti dari badan think tank Inggris, Chatham House, Neil Quilliam, menganggap situasi sekarang ini dapat menjadi momen bagi Saudi untuk memikirkan ulang rencana normalisasi hubungan tersebut.
Quilliam mengatakan kepada Reuters bahwa Saudi setidaknya bisa menunda proses tersebut hingga beberapa tahun ke depan.
Seorang warga Saudi, Abdulrahman al-Towajry, mengatakan kepada Reuters bahwa ia berharap pemerintahnya benar-benar memikirkan ulang rencana normalisasi hubungan dengan Israel.
Ia pun mengkritik UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko yang menyatakan bahwa normalisasi itu dapat membuat mereka lebih leluasa berdiskusi dengan Israel dan pada akhirnya berujung ke kemerdekaan Palestina. Namun menurut al-Towajry, Israel sangat tak bisa dipercaya.
Baca Juga:
"Ada kekuatan dalam persatuan, maka jika negara-negara Arab dan Muslim bersatu, konflik ini akan berakhir. Sebenarnya semua ini sudah bisa berakhir sejak dulu jika mereka bersatu," tutur al-Towajry.
Senada dengan al-Towajry, profesor ilmu politik Teluk dari Universitas Waterloo, Bessma Momani, juga menganggap negara-negara Arab jelas tak dapat menahan Israel dengan menormalisasi hubungan.
"Ini merupakan momen memalukan bagi negara-negara Teluk. Mereka jelas tak dapat mencegah Israel menyerang Gaza. Saya rasa mereka tak punya pengaruh apapun terhadap politik Israel sekarang ini," ucap Momani kepada NPR.
Ia kemudian berkata, "Menurut saya, ini membuat mereka terlihat lemah di hadapan publik. Sudah pasti, mereka memberikan kesepakatan normalisasi untuk Israel, tapi tak mendapatkan apapun untuk warga Palestina."
Baca Juga:
( Utuma )